March 2007 / April 2007 / May 2007 / June 2007 / July 2007 / November 2007 / March 2008 / April 2008 / February 2009 / March 2009 / April 2009 / May 2009 / June 2009 / July 2009 / August 2009 / October 2009 / May 2010 / June 2010 / July 2010 / August 2010 / September 2010 / November 2010 / December 2010 /

kembali ke blog


Nov 10, 2010

Di Balik Kaca TransJakarta

Kamu di balik kaca mobilmu,
dan aku di dalam bus kota.

Antara kita adalah
jarak begitu jelas namun tak terbaca
yang seperti dimensi berbeda saja,
meski kadang seolah saling bertatap mata.
Kamu kesempurnaan yang berdiri angkuh
dan aku di sini serupa itik bersimbah peluh.
Lalu mobil mewah dan asap dari luar jendela,
pendingin nyaman dan desak TransJakarta
yang tiap kaca dan kursinya saja menyentak mimpiku lalu tergelak,
atas khayal yang sesederhana imaji anak-anak.

Antara kita adalah
kenyataan dalam klakson pagi
bahwa pangeran manja tak akan jatuh hati
pada putri sederhana berbau matahari.
Tapi cinta bukannya seperti debu jalanan,
terbang tak berarah lalu mendarat sembarangan?
Lalu analogi yang dibantah
oleh hujan yang menyiramnya hingga basah
lalu menghapusnya mentah-mentah.
Katanya, "bagaimana bisa itu berlaku,
jika ia bahkan tak kenal debu?"

Antara kita adalah
sombongnya caramu menyetir,
ban mobilmu yang tertawa menyindir
dan hatiku yang basah oleh cipratan air.
Bahkan kicau burung saja terdengar berkelakar
menertawai keberadaanku yang tak kau sadar.
Lalu panasnya siang yang menyengat,
membakar kulitku dengan penuh semangat
membuatnya semakin gelap tanpa kata sepakat
sementara kamu, begitu terang dan halus,
serasi dengan tatapan yang membius.

Antara kita adalah..
ah, sudahlah.

Semua membuatku setuju,
bahwa dunia kita berbeda.
Kamu di balik kaca mobilmu,
dan aku di dalam bus kota.

Tapi coba periksa debu di atap mobilmu,
siapa tahu ada cintaku di situ.


-DisaTannos-



Untukmu yang di sana,
yang cantik dibingkai kaca TransJakarta.
Di antara kita hanya tersekat dinding ragu
yang tak kau pahami sebagai cinta di sela waktu menunggu.
Maka bawa aku ke dalam TransJakartamu
untuk memelihara wajahmu di ruang temu.
Mana yang bisa kugenggam?
Tanganmu atau tiang penyangga badan,
sebab aku harus tahu cara membiarkanmu tetap nyaman.

Di luar jendela selalu ada pemandangan yang kau bosan,
maka masuklah ke dalam mataku, pelan,
lihatlah dunia yang kelak
dan tak bisa kau elak.

Siang yang jalang
mencumbui tubuhmu hingga bersimbah peluh.
Boleh aku saja yang menyeka?
Agar letihmu dapat kuterka,
agar dapat kutakar berapa banyak tersisa luka.

Wajahmu,
tempat surga menyederhanakan parasnya
yang terselubung muram mendung.
Maka biar aku membasung mendung,
biar kita menyingkap cinta yang urung.

Roda TransJakarta terus berjalan
pun jalan akan merupa sungai kenangan
yang sesekali meluap saat rindu mengecupkan hujan.
Dan aku akan menggenggammu berdampingan
di atas roda yang menyepuh jalan
berubah dari abu menjadi merah jambu
sampai ke halte terakhir,
tempat salah satu dari kita dijemput takdir.


-RadityaNugie-

0 orang berkomentar. Mau?