March 2007 / April 2007 / May 2007 / June 2007 / July 2007 / November 2007 / March 2008 / April 2008 / February 2009 / March 2009 / April 2009 / May 2009 / June 2009 / July 2009 / August 2009 / October 2009 / May 2010 / June 2010 / July 2010 / August 2010 / September 2010 / November 2010 / December 2010 /

kembali ke blog


Sep 14, 2010

TIGA PULUH HARI SAJA.

Hari pertama.

“Hai, namaku Wira. Wirayuda.”

“Aku baru saja menjenguk ibuku yang koma karena sakit keras. Lalu.. aku melihatmu.”

“Apakah kamu bertemu ibuku? Apakah kalian saling kenal? Ibuku.. cantik kan?”

Hening.

“Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Maaf jika aku mengganggumu. Hanya saja..”

Wira memandang ragu. Berubah iba. Lalu melangkah pergi.

Tak dilihatnya mata yang terpejam itu bergerak.


Hari kelima.

“Ibuku meninggal dunia.”

“Tak bernyawa pun ia tetap cantik. Wajahnya bercahaya. Seperti bulan. Seperti.. kamu. Sayang sekali matamu tertutup begini..”

Memang sangat cantik, meski begitu pucat. Digenggamnya tangan yang tergeletak lemah.

“Bukan aku ingin mengganggu. Aku hanya butuh berbagi. Bercerita tanpa dinasehati. Menangis tanpa harus berhenti. Takut tanpa malu. Sedih tanpa ragu.”

“Aku takut sendirian..”

Wira tak kuasa menahan tangis. Dibenamkannya wajah pada tangan halus yang tak juga bergerak.

Kecuali ujung jarinya. Dan setitik air di sudut mata. Wira terhenyak sejenak.


Hari kesepuluh.

“Aku rindu ibu. Ayah sudah pergi sejak dulu..”

“Boleh aku kesini jika aku kesepian?”


Hari kelimabelas. Sebuah boneka beruang mungil tersenyum.

“Egoisnya aku. Pasti kamu pun kesepian. Kenapa tak ada yang menengokmu? Kubawakan boneka ini untuk jadi temanmu tiap hari, agar kamu tak merasa sendirian lagi..”

Dikecupnya lembut kening pucat itu.

Dan tiba-tiba jemari dalam genggamannya mengelusnya lembut.

Wira berdebar.


Hari keduapuluhlima.

“Jangan pergi..”

Sudah sepuluh hari sejak Wira datang terakhir kali. Ia pergi ke luar kota dan baru kembali.

Digenggamnya tangan itu erat. Kata dokter kondisinya jauh menurun. Kata dokter nyaris tak ada harapan baginya untuk bangun.

“Aku tak tahu namamu. Belum mendengar ceritamu. Kau belum kenal aku. Belum mendengar terima kasihku. Jangan pergi dulu..”

Wira terisak lagi. Begitu takut, begitu cemas.

Sampai jemari itu balas menggenggam tangannya erat. Meski kemudian kembali lepas.


Seorang lelaki tua berseragam dokter sudah hadir tanpa dipanggil. Menyaksikan dari pintu, memandang kagum sambil tersenyum.


Hari ketigapuluh. Dan ranjang itu kosong.

Jantung Wira berdetak kencang, ketakutan.

Namun dilihatnya selembar surat terlipat.


“Hai, namaku Yesha. Ayesha.

Terimakasih telah menjadi satu-satunya yang menemaniku saat koma.

Kalau kamu tak ada, mungkin aku memilih mati saja.

Dan ya, ibumu cantik seperti bidadari surga.”


Wira memutar tubuhnya. Sosok putih mungil tersenyum di atas kursi roda. Matanya indah dan wajahnya bercahaya—seperti ibunya.


Hai, namaku Wira. Wirayuda. Dan aku jatuh cinta.


0 orang berkomentar. Mau?