March 2007 / April 2007 / May 2007 / June 2007 / July 2007 / November 2007 / March 2008 / April 2008 / February 2009 / March 2009 / April 2009 / May 2009 / June 2009 / July 2009 / August 2009 / October 2009 / May 2010 / June 2010 / July 2010 / August 2010 / September 2010 / November 2010 / December 2010 /

kembali ke blog


Sep 19, 2010

SEPULUH MENIT SEBELUM LANGIT JADI JINGGA

Sesaat sebelum senja, saat langit masih biru muda.

Jalanan tak terlalu ramai. Namun sebuah bangunan berlantai lima tampak cukup menyita perhatian. Satu, dua, lima, semakin banyak orang berkumpul di bawahnya, menyaksikan sesuatu yang menarik dan menegangkan.

Seorang gadis berambut sebahu berdiri di tepi atap, bersiap untuk membuang nyawanya.

"Neng, turun neng.. Istighfar!" teriak beberapa orang tua.
"Tuhan Yesus jangan sampai ia lompat.." seorang ibu memegangi salib di lehernya.
Dan beberapa remaja sibuk mengambil gambar lewat telepon genggam mereka.

Alisha namanya, dan ia benci hidupnya.

Satu, dua..

"Kalau aku jadi kamu, aku akan pilih cara yang lebih pintar.."

Siapa sih?

"Siapa kamu? Sedang apa disini? Turun sana, jangan ganggu aku!" mau tak mau Alisha menoleh juga.

Lelaki tampan pemilik suara tadi malah memilih bersandar di sampingnya. Menyalakan rokok. Di bawah sana, belasan wajah menunggu harap-harap cemas.

"Untuk apa kamu lompat?"
"Bukan urusanmu."

Dihembuskannya asap rokok di dalam mulutnya.

"Rugi sekali bunuh diri dengan cara begitu. Sudah pasti mati. Tak ada kesempatan untuk menyesal."
"Kenapa aku harus menyesal?"
"Karena mungkin sedetik setelah lompat kamu akan sadar bahwa kamu belum siap masuk neraka.. Jika tempat itu memang ada."
"Kalau tidak ada?"

Hening.

"Begini saja. Kita buat taruhan kecil. Mau?"
"Aku tak mau mengulur waktu."
"Ayolah.. Sebentar saja, tak ada ruginya.."
"Taruhan apa?"
"Kalau hidupmu lebih sial dari hidupku, kamu boleh lompat. Kalau ternyata sebaliknya, kamu harus minum secangkir kopi denganku, baru bunuh diri."
"Apa gunanya?"
"Tidak ada. Anggap saja itu amal sebelum mati."

Alisha berpikir sejenak. Ia tak terlalu peduli. Hidupnya sudah tak berarti. Toh pada akhirnya sama-sama akan ia akhiri.

"Oke."
"Kamu duluan."
"Pacarku sebulan lalu meninggal dunia."
"Setidaknya kamu tidak harus melihatnya duduk di samping orang lain di pelaminan. Kau tahu dia ada dan mencintaimu, tapi tak bisa kau miliki.."
"Orangtuaku baru saja bercerai, ayahku lari dengan istri mudanya.."
"Nasib kita sama.."
"Aku tak punya teman untuk bercerita.."
"Aku punya. Dulu, sebelum ia menikahi pacarku."

Alisha terdiam.

"Lalu bagaimana kau bertahan hidup?"

Lelaki itu tak menjawab, hanya mengangkat pergelangan tangan kirinya. Alisha terkesiap--ada bekas sayatan di sana, begitu jelas. Tanda disitu pernah ada luka, yang kini telah sembuh meski berbekas.

"Kau harus hidup dulu untuk tahu jawabannya.."

Alisha terdiam lagi. Si lelaki tertawa.

"Jadi aku menang ya?"

Tak ada jawaban. Ia tertawa lagi. Lalu mengulurkan tangan.

"Aku Arian."
"Alisha."
"Ayolah, Alisha. Secangkir kopi saja.. Aku tahu warkop yang lebih enak dari cafe."
"Warkop?!"

Arian tergelak. Ia mematikan rokoknya, lalu menarik tangan Alisha. Kali ini gadis itu menurut, bahkan tersenyum sedikit. Ya sudahlah. Mungkin ia akan mati satu jam lagi. Mungkin juga tidak.

Di bawah sana, semua orang tersenyum lega.

Dan kini langit sudah jingga.

0 orang berkomentar. Mau?